Terlalu Sibuk

Saya tidak mau menjadi terlalu sibuk sehingga saya melupakan keluarga saya.

Saya tidak mau menjadi terlalu sibuk dan menjadi acuh pada kebahagiaan diri saya.

Saya tidak ingin menjadi orang sibuk yang tidak memprioritaskan ibadah.

Saya enggan menjadi sibuk hingga saya tidak peduli lagi dengan kesehatan dan lingkungan saya.

Saya tidak mau jadi orang sibuk yang waktunya terbuang untuk menjadi seseorang yang bukan saya.

Sungguh saya tidak mau menjadi sibuk jika kesibukan itu hanya membuat saya jauh dari kesyukuran dan nikmat Tuhan yang tidak mungkin bisa saya dustakan.

Kosong

Beberapa hari ini tidak ada yang bisa saya tulis. Rasanya ide hilang entah kemana. Dalam sehari biasanya selalu ada saja yang ingin saya tulis, walaupun hanya sedikit, saya seringkali menulis di memo gadget saya yang kemudian saya kumpulkan sebagai bahan untuk saya menulis di sini. Namun saat ini benar-benar kosong. Mungkin karena otak saya sudah dipaksa untuk beroperasi sedemikian berat. Atau mungkin karena tubuh saya sudah perlu istirahat karena terus-terusan beraktivitas melebihi batasan waktu dan kemampuan saya. Intinya saat ini saya mulai lelah. Lelah dengan keadaan yang terlalu menekan saya. Saya butuh sedikit kelonggaran, untuk menata diri saya, untuk menjalani aktivitas-aktivitas ringan namun penuh makna, untuk mengisi kekosongan hati dan lelahnya jiwa. Sudah terlalu banyak hal berharga yang saya korbankan beberapa waktu terakhir.  Dan saya tidak mau itu terus berlanjut, untuk terus menyita energi saya, namun hasilnya kosong tak bermakna.

Balanced Life

 

Menurut saya, kita sebagai manusia yang diberikan karunia oleh Allah berupa akal pikiran, kita diberikan kemampuan untuk mengelola segala sesuatu dan mengerjakan berbagai aktivitas yang kita miliki.

Namun sebagai manusia juga, yang tentunya punya batasan baik itu waktu, tenaga, hingga materi, sehingga sebisa mungkin kita berusaha untuk menjalani hidup dengan seimbang. Bagaimana hidup yang seimbang itu? Mungkin orang-orang memiliki pendapat masing-masing. Bagi saya hidu yang seimbang tu adalah hidup ketika saya bisa memaksimalkan potensi saya dalam bekerja, mengembangkan minat dan bakat saya, mengelola keuangan saya dengan baik, mempunyai waktu yang cukup untuk keluarga, bisa beribadah dengan baik, bersosialisasi dan membangun relasi dengan orang lain, serta menjaga kesehatan tubuh saya yang telah Allah beri dengan sebaik mungkin. Semua hal tersebut bagi saya adalah prioritas dan berjalan beriringan. Tidak boleh ada yang harus dikorbankan demi mengerjakan hal yang lain.

Bagi saya, keluarga adalah rumah saya oleh karena itu mempunyai waktu bersama keluarga adala prioritas. Bekerja dengan baik juga menjadi prioritas saya karena di sana saya bisa menyalurkan ilmu dan kompetensi saya dengan harapan bisa memberikan manfaat seluas-luasnya. Beribadah adalah kebutuhan yang harus saya penuhi, untuk memaintain dan menutrisi jiwa saya, menjaga “kewarasan” saya di zaman yang semakin berlomba-lomba mencintai dunia.

Begitu juga dengan menjaga kesehatan tubuh, sebagai bentuk rasa syukur karena Allah telah memberikan sebaik-baiknya tubuh, rupa, dan kesehatan bagi saya. Tanpa tubuh yang sehat pun saya tidak mungkin bisa menjalani hidup ini dengan mudah. Sebagai rasa cinta kepada diri sendiri, saya juga ingin menjaga tubuh saya agar saya bisa terus fit dalam mengejar mimpi saya.

Bersosialisasi dengan orang lain pun menjadi kebutuhan kita sebagai makhluk sosial. Dengan berteman, menjalin relasi dan silaturrahim bisa menyegarkan diri kita dari permasalahan yang kita hadapi. Bahkan tidak jarang, kontak dengan orang lain akan mendatangkan inspirasi dan solusi untuk hidup kita.

Lalu, apakah hidup saya sudah seimbang? Tentu saja tidak. Saya masih harus banyak belajar. Saya masih sering mengalah untuk hidup seimbang dan lebih mendengarkan kemauan orang lain tanpa mempertimbangkan bahwa hidup ini sebenarnya saya yang memegang kendali. Saya masih sering didikte oleh orang lain dan tidak berani mengambil sikap sehingga saya harus terpaksa merelakan beberapa bagian dalam hidup saya menjadi tidak seimbang. Apakah saya menyesal? Karena saya menyesal itulah saya membuat tulisan ini, untuk menilik lebih jauh ke dalam diri saya, bertanya dan berusaha untuk menemukan jawabannya. Apakah ini yang saya mau? Apakah saya bahagia jika saya menjalani hidup seperti ini? Untuk apa saya hidup? Untuk siapa saya hidup? Apa yang saya cari? Nasihat apa yang akan saya berikan untuk diri saya saat ini ketika  saya berada di masa depan? Dan, banyak pertanyaan-pertanyaan yang sampai saat ini masih berputar di kepala saya dan berlomba untuk mendapatkan jawaban.

Jawabannya ada di dalam diri saya. Saya hanya sedikit takut untuk menengok ke dalam, mengetahui bahwa bukan ini yang saya harapkan, bahwa hidup yang saya jalani tidak seimbang dan saya tidak bahagia menjalaninya.

Lantas, apa yang harus saya lakukan? Bagi saya ini akan membutuhkan keberanian untuk menjadi diri saya sendiri, menjalani semuanya dengan kontrol berada di saya. Terakhir, saya berusaha untuk menerima diri saya sendiri. Menerima bahwa hidup ini tidak bisa sesempurna seperti yang ada dalam angan-angan saya, menerima bahwa saya mempunyai batasan dan mencoba untuk mentolerirnya.

Hidup itu indah. Apalagi jika dijalani dengan penuh cinta dan ikhlas menerima hasilnya.

Menanti Lebih Lama

Minggu pagi ini saya diingatkan lagi oleh Allah. Bahwa sesungguhnya semuanya adalah kuasa Allah. Saya sebagai manusia tidak punya kekuatan untuk menentang, menolak, ataupun protes atas apa yang sudah Allah takdirkan kepada kita, hamba-Nya.


Yaa Allah ampuni hamba karena hamba belum cukup bersabar

Ampuni hamba karena hamba masih susah sekali untuk ikhlas menerima apapun yang sudah Engkau gariskan untuk hamba

Ampuni hamba karena masih tidak bisa bersyukur atas banyaknya karunia-Mu

Ampuni hamba karena hamba selalu saja berprasangka buruk akan rencana-Mu

Padahal hamba tahu apa yang Engkau rencanakan sesungguhnya adalah yang terbaik

Hamba tahu bahwa Engkau memberikan jalan kepada hamba seperti ini karena Engka begitu sayang kepada hamba, yaa Allah.

Hanya saja hamba menilai semuanya dari sudut pandang hamba yang hanya tahu sedikit ilmu.

Hanya saja hamba memandang lewat mata hamba yang mempunyai jarak pandang yang sempit.

Yaa Allah, hamba tahu, hamba yakin Engkau Maha Baik, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha mengetahui mana yang baik dan buruk untuk hamba.

Hamba tahu bahwa Engkau tidak akan memberikan cobaan yang tidak sanggup dipikul hamba.

Namun karena lemahnya hati hamba, karena banyaknya dosa hamba, hamba tidak bisa melihat kesempurnaan rencana-Mu, hamba tidak bisa melihat kebaikan dari takdir-Mu.

Yaa Allah,

Mampukan hamba untuk menjadi hamba-Mu yang selalu bersyukur

Kuatkan hamba agar bisa sabar dan ikhlas menerima takdir-Mu

Pantaskanlah hamba untuk meraih ridho-Mu, mendapatkan cinta-Mu yaa Rabb.


Semoga saya, kamu, kita selalu bisa berprasangka baik kepada Allah, bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya, bersabar dalam menjalani setiap ujian dari-Nya.

Semoga saya, kamu, kita mampu untuk ikhlas, ikhlas, dan ikhlas, menyerahkan segala urusan kita kepada Allah. Karena kita hidup selain untuk mengusahakan yang terbaik, menanti doa-doa kita untuk dikabulkan, dan juga menerima segala yang ditakdirkan.


Wahai Rabb yang Maha Hidup, wahai Rabb yang berdiri sendiri tidak butuh segala sesuatu, dengan rahmat-Mu aku meminta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekalipun sekejap mata tanpa mendapat pertolongan dari-Mu selamanya.

Cinta dalam Diam

Tulisan ini saya buat karena saya terharu dengan bagaimana cara suami mencintai saya. Suami saya bukan tipikal laki-laki yang selalu romantis, yang terkadang terlihat cuek, tapi cintanya kepada saya tidak perlu diragukan.

Suami saya bukan seseorang yang selalu mengucapkan kata-kata manis penuh rayuan, pun juga bukan sosok yang murah hati memberikan pujian. Tapi karena sifatnya yang seperti inilah yang berhasil membuat saya meleleh ketika dia memuji saya cantik hingga mengatakan kalo ia mencintai saya, rasanya ia benar-benar mengatakannya dari hati.

Lelaki yang membersamai saya saat ini adalah ia yang diam-diam tanpa banyak kata menunjukkan rasa cintanya kepada saya secara nyata. Ia yang selalu ada ketika saya membutuhkannya. Ia yang membantu saya sebelum saya memintanya. Ia yang tidak pernah mengeluh ketika masakan saya kurang enak ataupun lelah antar jemput istrinya. Ia yang dengan lembut mencium saya ketika saya sudah mulai tertidur bahkan mungkin saat tidur ia masih saja menciumi saya. Hal terakhir ini baru saya ketahui belakangan ini, ketika saya tiba-tiba terbangun di tengah malam, ternyata ia sedang memeluk saya. Saya pun tidak sengaja menggerakkan tubuh saya, dan ia mengecup lembut pipi, kening, tangan apapun itu yang berada dekat dalam jangkauannya.

Suami saya mungkin terkadang terlihat cuek, tapi saya tahu ia mengungkapkan cintanya kepada saya bukan dengan bahasa kata-kata cinta. Tapi pengertian, perhatian, pertolongan, yang semuanya ia lakukan dengan diam-diam. Saya akhirnya sadar, saya sudah terlalu banyak meminta hal-hal di luar kemampuannya, tanpa pernah melihat seberapa besar cintanya kepada saya menurut sudut pandangnya.

Ia sempurna, cintanya sempurna, hanya hati dan perasaan saya saja yang sering tertutup ego sehingga menghalangi saya untuk melihat kesempurnaan itu.

Happy Birthday Hubby

WhatsApp Image 2019-02-02 at 6.54.34 PM

Di hari jadimu ingin kukatakan bahwa ku sangat merindukanmu

Doaku selalu tertuju padamu, kuharap kau bahagia selalu

Semoga kau ada dalam lindungan-Nya, rizki dan berkah-Nya jadi karunia untukmu senantiasa..

Oh Tuhan jaga dia

Kabulkan doaku dan semua harapannya

Langit tak selalu biru, namun ku akan ada di sisimu

Sahabatku, kau teman hidupku

lyrics from Lagu untuk Gita by Paul Partohap

 

Menunggu Kematian

Ternyata yang paling dekat dengan kita adalah kematian. Ia bisa datang kapan saja di saat kita siap maupun tidak. Tidak perlu menunggu kita tua, yang muda pun sudah banyak yang lebih dahulu menghadap-Nya. Tidak harus dalam keadaan sakit, yang sehat pun bisa dengan mudah Allah ambil nyawa-Nya jika Allah berkehendak.

Sesungguhnya memang kematianlah yang kita tunggu. Karena hidup yang kita jalani hanyalah sementara. Suka dan duka semuanya adalah fana. Setiap detik yang kita lewati, setiap napas yang kita hembuskan tidak lain hanya sebagai pengurang jatah dari hidup kita.

Kita sebagai manusia sudah ditakdirkan kapan batas waktu kita di dunia. Dan dengan batasan waktu itu, kita diminta untuk menjalaninya sebagai manusia yang diharapkan dapat mampu membawa bumi ke arah yang lebih baik.

Kita ditakdirkan untuk mati, hanya saja kita tidak tahu kapan itu terjadi. Alangkah bijaksananya jika kita dapat memanfaatkan waktu yang Allah beri untuk menebar manfaat, untu terus berbuat baik, untuk menjalankan ibadah. Karena kita saat ini sedang menunggu untuk mati.

Amanah

WhatsApp Image 2019-01-02 at 2.49.33 PM.jpeg

Hari ini akan menjadi salah satu hari bersejarah untukmu, wahai suamiku. Setelah menjalani masa-masa menjadi CPNS, hari ini 2 Januari 2019 kamu akhirnya melaksanakan proses pengangkatan sumpah sebagai Pegawai Negeri Sipil (ASN) di lingkungan Polri.

Segala upaya yang kamu perjuangkan akhirnya membuahkan hasil dan kamu sekarang berada di titik ini, menjadi pegawai berseragam yang mempunyai tugas mengabdi kepada negeri.

Suamiku sayang, aku tahu suatu saat kamu akan menjadi orang yang sukses, yang mampu menyumbangkan pikiran, tenaga, hingga materi demi seluas-luasnya manfaat yang akan kamu berikan untuk orang di sekitarmu.

Aku yang tahu bagaimana kamu yang dulu culun, lugu, bahkan dipandang sebelah mata oleh orang lain, namun kamu mempunyai kekuatan besar dalam dirimu. Kekuatan untuk terus berbuat baik. Kekuatan dan semangat yang besar untuk terus maju, membuat kami bangga.

Suamiku, aku tahu bahwa tanggung jawab yang kau pikul demikian besarnya, tapi kamu selalu tersenyum dan tidak pernah mengeluh. Aku yakin bahwa pundakmu begitu berat membawa beban hidup, pekerjaan yang menumpuk, dan masalah yang hadir, tapi itulah yang membuatmu terus menjadi sosok yang luar biasa seperti sekarang.

Sayang, tetaplah kuat, tetaplah berjuang. Karena aku membutuhkan tanganmu yang tangguh untuk melindungiku. Tetaplah lembut dan tenang mengajariku menjadi istri dan sosok ibu teladan bagi anak-anak kita. Dan harapanku, agar kamu bisa terus amanah dalam menjalankan segala tanggung jawab itu.

Sayang, kamu pantas mendapatkan ini semua. Aku bangga menjadi istrimu. Doaku selalu menyertaimu, untuk kesuksesanmu, untuk kesehatan, keberkahan dan kebahagiaan kita. I love you.

Terima Kasih, Diriku.

1520755147815-01

Teruntuk diriku, Nur Annila.

Nila, terima kasih.

Terima kasih karena telah menjadi sosok yang selalu tenang di hadapan siapapun. Tenang dalam menghadapi setiap masalah yang kau hadapi di tahun 2018.

Nila, terima kasih karena terus menjadi pribadi yang kuat dan bisa diandalkan. Terima kasih karena tidak banyak mengeluh meski sering merasa lelah.

Terima kasih diriku karena terus berusaha untuk menahan egomu, meski tak jarang tangismu pecah juga ketika kamu merasa sudah tidak sanggup lagi memikulnya. Tidak apa. Menangislah dan menjadi kuatlah setelahnya.

Wahai diriku, Nila. Tahun 2018 sudah berlalu. Kini 2019 pun tak sabar menanti dirimu untuk terus memperbaiki diri.

Nila, kita akan terus bersama-sama. Berjuang. Menjadi versi terbaikmu. Menjadi lebih peduli. Memberikan makna lebih kepada orang lain. Menjadi Nila yang kuat dan tangguh. Menjadi Nila yang lebih cerdas dan bijaksana dalam bersikap. Menjadi pasangan yang senantiasa menguatkan suamimu. Menajdi seseorang yang terus menebar cinta kepada sesama.

Nila, masih banyak hal yang ingin kau raih, masih banyak mimpi yang menunggu untuk menjadi nyata. Maka berusahalah selalu. Untuk dirimu. Untuk orang-orang yang percaya padamu. Untuk seseorang yang akan hidup dari dirimu dan menjadikanmu teladan di hidupnya, yaitu anakmu. Kita terus berjuang bersama, ya.

Terima kasih diriku.

Reading Challenge 2019

2016-03-23-13-32-33.jpg

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat mengadakan survey melalui ig stories saya di @nurannila. Survey ini bermula dari keinginan saya untuk membaca lebih banyak buku, kemudian saya meminta teman-teman saya untuk menjawab pertanyaan yang saya berikan yaitu, jika harus membaca buku, format buku apa yang akan kalian pilih? Paper books atau Ebooks?

Berdasarkan survey tersebut, 53% teman-teman saya memilih paper books dan 47% lainnya memilih ebooks. Dari situ pula saya mengetahui beragam alasan mengapa mereka memilih format buku tersebut. Ada yang memilih paper books karena senang dengan aroma buku sambil menikmati helai demi helai lembaran buku yang mereka sentuh. Selain itu dengan membaca melalui paper books pun mereka merasa lebih nyaman karena tidak terganggu dengan banyaknya notifikasi yang masuk saat membaca melalui gadget. Mereka juga berpendapat bahwa dengan membaca secara langsung membuat mata lebih rileks karena tidak harus menatap layar gadget terlalu lama.

Sebaliknya, teman-teman saya yang lain yang memilih ebooks pun mempunyai pendapatnya sendiri. Mereka beralasan sudah saatnya kita untuk menjadi cerdas dan berwawasan tanpa perlu mengorbankan lingkungan. Dengan membaca ebooks kita juga ikut berperan untuk peduli pada lingkungan yang mana kertas yang digunakan untuk mencetak buku berasal dari pohon-pohon yang menjadi paru-paru dunia. Teman-teman saya yang memilih ebooks pun merasa dengan membaca ebooks mereka bisa membaca di manapun dan kapanpun. Daripada harus membawa buku yang berat, ebooks sudah tersedia di gadget masing-masing. Jadi sambil menunggu bisa baca buku, lebih baik daripada scroll-scroll media sosial saja.

Kalau saya tim dua-duanya. Untuk buku-buku tertentu seperti buku yang “berisi” saya memilih untuk membaca paper books, karena saya harus fokus dan menjauhi segala sesuatu yang bisa mendistraksi saya. Tapi, ketika saya membaca buku yang santai, seperti novel saya lebih memilih untuk membaca ebooks. Selain lebih mudah, ebooks juga relatif lebih murah karena saat ini banyak aplikasi yang menyediakan ebooks secara gratis.

Untuk menantang diri saya sendiri agar saya bisa membaca lebih banyak buku, saya ingin menuliskan di sini bahwa saya akan membaca minimal 25 buku selama tahun 2019.

Di tahun 2018 ini saya merasa saya hanya membaca beberapa buku saja, dan tidak punya target berapa buku yang harus saya baca. Sehingga saya merasa lebih banyak menghabiskan waktu untuk hal yang sia-sia misalnya saja bermedsos ria. Padahal berlama-lama di media sosial juga tidak baik.

Saya ingin di tahun 2019 nanti, bisa membuka wawasan saya lebih luas lagi, mengetahui sudut-sudut dunia lewat buku, mengenal berbagai macam karakter manusia, lebih peduli dengan isu-isu terkini, belajar dari orang-orang sukses, lebih banyak bermimpi dan memotivasi diri untuk terus merealisasikan mimpi itu.  Mungkin target ini target yang kecil bagi sebagian orang, namun mulai saat ini saya ingin mengkonsistenkan diri saya untuk memupuk target saya sedikit demi sedikit menjadi kenyataan yang saya usahakan setiap waktunya.

Design a site like this with WordPress.com
Get started